KASIH, DISIPLIN, CERDAS, BERANI DAN JUJUR
Nilai Kanisius: kasih, disiplin, cerdas, berani dan jujur

Selasa, 13 Agustus 2013

Model Kepemimpinan Sekolah Kanisius

Model Kepemimpinan Sekolah Kanisius

Model kepemimpinan sekolah yang diterangi oleh inspirasi lima nilai dasar Kanisius, yaitu: Kasih, Disiplin, Cerdas, Berani dan Jujur.” Di sinilah kemudian imajinasi berselancar untuk mencoba merangkai gagasan tentang model kepemimpinan sekolah-sekolah Kanisius yang mengambil landasan utama pada lima nilai dasar Kanisius tersebut, ditambah satu hal yaitu refleksi. Maka muncullah enam model kepemimpinan Kanisius sebagaimana secara embrional dapat direnungkan sebagai berikut:

1. Pemimpin yang memiliki kasih. Nilai kasih diletakkan pada posisi pertama dari lima nilai dasar Kanisius. Pastilah ini bukan tanpa alasan. Pastilah ini muncul dari suatu spiritualitas atau cara menghayati hidup tertentu. Dan pastilah ini memiliki tujuan ke depan bagi pendidikan yang bermakna di Kanisius. Saya yakin, nilai kasih ini menjadi dasar paling dasar dari nilai-nilai lain yang hendak diajarkan, dilatihkan, dipraktekkan dan dihayati oleh pemimpin, guru, karyawan, murid, alumni, orangtua/wali murid, dan siapapun yang bersentuhan dengan pendidikan Kanisius. Saya pun meyakini, nilai kasih ini didasarkan pada kasih Allah sendiri dalam diri Yesus Kristus, Sang Guru Sejati. Manakah landasan spiritualitas yang dapat menerangi dan meneguhkan model kepemimpinan yang memilih kasih seperti ini? Salah satunya dapat direnungkan dari peristiwa perjumpaan Yesus yang bangkit dengan Simon Petrus. Tentu kita sangat familiar dengan dialog antara Tuhan Yesus dan Simon berikut ini. “Simon, apakah kamu mengasihi Aku melebihi segala sesuatu?” tanya Yesus kepada Simon Petrus. Dan Simon menjawab-Nya: “Ya Tuhan, aku mengasihi Engkau.” Lalu Yesus mengatakan kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku”. Yesus mengulanginya sampai tiga kali; dan Simon menjawab-Nya juga sampai tiga kali.Panggilan dan tugas pengutusan yang kita terima dilandaskan pada kasih pribadi kita kepada Tuhan sendiri.Sebagai guru, dasar paling dasar dalam mendidik adalah kasih kita kepada Tuhan dan kasih kita kepada para murid. Kepada Anda para guru, Yesus juga bertanya: “Apakah kamu mengasihi Aku?” Dan setelah mendengar jawaban Anda, Dia pun akan berkata: “Cintai dan gembalakanlah murid-murid Kanisius”. 

2. Pemimpin yang disiplin. Hakikat utama dari seorang murid (disciple) adalah disiplin (discipline). Disiplin memuat di dalamnya kemauan untuk berlatih mengatur diri dan kemampuan untuk melaksanakan tugas secara optimal. Tidak hanya murid, hakikat guru pun seharusnya menghayati disiplin diri seperti ini, sebab seorang guru sebenarnya juga seorang murid dalam arti pembelajar yang tiada pernah berhenti. Guru yang tidak mau belajar lagi sebenarnya sudah berhenti sebagai guru karena ia tidak lagi berkembang. Maka, bagi guru, teruslah belajar agar semakin baik dalam mengajar para murid; dan teruslah mengajar agar semakin tertantang untuk belajar lebih baik lagi mengikuti perkembangan zaman. Hanya pribadi guru yang mempunya kasih besarlah yang akan setia menghayati tugas panggilan mulia mendidik para murid di Kanisius. Manakah landasan spiritualitas yang dapat mempertegas model kepemimpinan ini? 

 3. Pemimpin yang cerdas. Kecerdasan bukan untuk dipahami sebagai milik. Yang lebih penting adalah sebagai kegunaan bagi pengabdian pada Tuhan dan sesama. Orang yang cerdas adalah mereka yang dapat menggunakan bakat-bakat hidupnya bagi orang lain, bukan bagi kehebatan atau kesombongan diri. Maka bila ingin disebut cerdas, tunjukkanlah melalui perbuatan yang berguna untuk orang lain, dan biarlah orang lain yang menilainya. Maka kecerdasan juga bukan pertama-tama dipahami sebagai kata yang statis, melainkan sebagai kata yang dinamis, sebagai suatu tindakan ke luar dirinya, suatu tindakan bagi orang lain. Di situlah otak bekerja sama dengan hati; pikiran-pikiran brilian bekerja sama dengan belas kasih dan kepedulian sosial. Kecerdasan yang tidak berguna bagi kebaikan sesama dan dunia, bukanlah kecerdasan. Justru itu adalah kebodohan. Orang menjadi bodoh karena ingin memiliki kecerdasan untuk dirinya sendiri tetapi tidak mau memberikannya bagi kesejahteraan orang lain. Oleh karena itu, guru Kanisius memerankan tugas mulia untuk membantu para murid menjadi cerdas yang diarahkan kepada solidaritas sosial. Oleh karena itu, pemimpin yang cerdas juga memiliki daya pikir kritis sekaligus mampu menginspirasi teman-temannya untuk berkembang lebih baik lagi demi pelayanan yang lebih efektif. 

4. Pemimpin yang berani. Orang yang cerdas pada dasarnya mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar. Kecerdasan hanya akan bermakna jika didasari oleh keberanian untuk membela yang benar dan memperjuangkan kebenaran sejati. Oleh karenanya, tindakan berani itu bukan sekadar ngawur dan mempertahankan egoismenya sendiri, melainkan karena ia tahu mana yang benar di hadapan Tuhan dan ingin menghayati kebenaran itu. Dan kebenaran inilah pula yang menjadi arah dari seluruh pendidikan, yakni: menghantar murid kepada kebenaran bahkan kepada Sang Kebenaran Sejati, Tuhan Yesus sendiri. Sebab, Tuhan sendiri telah telah bersabda: “Aku jalan, kebenaran, dan hidup” (Yoh. 14:6). Sebagai salah satu usaha untuk membentuk karakter pribadi yang berani, sangatlah penting seorang guru membantu murid-muridnya untuk memiliki kejujuran di kedalaman hatinya. Guru Kanisius yang punya keberanian akan ikut memiliki pengaruh kuat dalam ikut membentuk karakter murid Kanisius yang berani. Pemimpin yang berani memiliki prinsip diri yang kokoh, memiliki kompetensi yang tinggi, dan memiliki militansi dalam memperjuangkan nilai-nilai kebenaran. 

5. Pemimpin yang jujur. Lawan dari kata “jujur” pertama-tama bukanlah “tidak jujur” atau “curang” atau “bohong”, melainkan “tidak percaya pada diri sendiri dan tidak percaya pada Tuhan”. Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan martabat mulia dan dengan anugerah kebebasan. Jika ia menggunakan kebebasannya untuk berbuat yang jahat atau curang, sebenarnya ia tidak lagi bebas tetapi terikat. Ia tidak lagi berkuasa atas dirinya untuk tetap menjadi ciptaan yang secitra dengan Allah. Dirinya sudah diikat oleh kuasa si jahat. Membiarkan diri diikat dan dikuasai oleh kekuatan si jahat sama artinya dengan tidak mau percaya pada Dia yang telah mengorbankan Diri demi kebebasan dirinya. Banyak orang lebih mementingkan gengsi.Banyak yang lebih mementingkan harga diri semu.Banyak yang lebih mementingkan keselamatan harta dan materi.Namun, apakah mereka pernah merenungkan keselamatan jiwanya sendiri? Kepada semua orang lain Anda bisa saja bohong, namun Anda tidak pernah dapat bohong kepada diri Anda sendiri dan kepada Tuhan. Suara hati Anda sendiri akan menjadi hakim yang adil atas kejujuran atau ketidakjujuran Anda. 

6. Satu antara kata dan perbuatan, komitmen pada kebenaran dan keadilan

7. Pemimpin yang reflektif. Mengacu pada Paradigma Pedagogi Reflektif

Pemimpin tidak selalu terlihat dari jabatan, tetapi dari keterlibatannya. Pemimpin SMART (Sikap, Menarik, Antusias, Ramah, Teliti).Pemimpin yang ideal, baik, bijaksana. 

disadur dari Materi Pelatihan Kurikulum di Muntilan 2-4 Agustus 2013 disampaikan
Oleh: Romo A. Mintara Sufiyanta, SJ
Direktur Yayasan Kanisius Cabang Yogyakarta